TRANSPARAN




waktu sambangi aku dalam diam dan sunyi setelah hujan turun melamun tak dapat mencium embun pagi yang kusut petang bukan ahir pagi ini tapi matahari juga tak membadan menghangatpun entah kesasar tak menemukan kembali cara menidurkan air subuh yang terbangun demi fajar sebelum siang, tak lama menandur di sawah belalang yang merawa membungkus tanaman dengan warna yang tak sama namun juga tak berbeda memancar di telan terang dan lumpur menanam kelekatan di ujung pencarian yang samar, melihat namun masih tak tampak jelas tundukannya malu atau tak sempat membelah otak berfikir sejenak memakannya sendiri yang kadang tidak smua musim menjadi jaman bagi setiap perubahan yang tak di pertanyakan siapa dan bagaimana?
Dia datang sebagai hari bagi semua orang begitu anggapan langit di tahajud yang gerimis memanjadikan kalimat doa yang tersembunyi sebelum senyum datang memanjakan kedamaian di sepertiga malam , tak mengenalnya hanya ungkapan kawan yang anggun tentangnya tentang wajah yang teduh dan cahaya bak pangeran di musim salju dari negri tenggara, aku hanya bertanya siapa dan dimana rahimnya? “Memang terasa sulit menegerti takdir Tuhan” dunia maya tempatnya menjemput nama mmeperkenalkan yang hampir aku lupa bgaimana caranya , berjabat tangan tanpa jemari dan tersenyum hanya sketsa di hadapan tulisan yang bisu, sederetan kata mengawal perbincangan yang kabur terbirit birit tak berlari terus menarikan kisah dengan tanpa malu malu menuduh bantaian kepercayaan adalah benar bagian dari cerita
 Aku hanya tersenduh dg tawa yang terlahir sebelum musim dingin di desa kemarau yang hijau, tanah debu mengharum di langit barokah memanggil keduanya yang menafsirkan hanya tanpa perkiraan yang tabu lalu hilang tanpa tapak jalan yang meliut, mereka datang iya mereka menghampiri lalu berlalu dengan suara , mereka matahri tapi bagaimna mungkin ada matahari lebih dari satu pantulan karna tidak akan disebut dengan siang bila bukan dirinya sendiri, kemudian bulu bulu mata mulai bicara bahwa satu diantara keduanya adalah sebagai bulan di malam dan mejelma matahari ketika ayam ayam jago mulai terbangun bangga menjuali kokok di serambi pagi, terus berjalan hingga hari mulai mengubah dirinya menjadi santaian bagi pekerja dan pesta bagi pemuda pemudi yang tak pernah mati suri ,, iya harapku namanya pada kalimat yang terpanjatkan untuk Tuhan mengukur pandanganku di malam gerimis yang melihat hujan menyudahi pelangi sebagai kesempatan untuk diam kemudian melangkah, aku datang dan mereka mengemban senyumku yang tertunda berjalan iya mengeja sisa hujan di semat tawa dan ramai, aku terdiam sejenak tak mengerti dan mungkin mustahil untuk hanya sekedar mendengarkan rasa bagi hati dan waktu, aku melihatnya dan bukan lagi sketsa apalagi ematikon krna sapaan dan senyum itu jelas aku melihatnya.
Waktu berubah menjdi hari dan kemudian angka angka penanggalan terus mengisi barisannya sama dengan huruf huruf yang berlari melewati kalimat kalimat kita yang menjdi bahasa dalam cerita , pertanyaan dan jawaban menjadi sarapan tp terkadang saat lapar masih harus menunggu detik sarapan untuk menjadikan kenyang membayar kertas putih yang menyulap luap tak di pahami kepastiannya.

Comments